Belajar Menyiapakan Kader Mekanik dan Organik dari Emile Durkheim


EMILE Durkheim, salah satu bapak sosiologi modern, meletakkan fondasi penting tentang bagaimana masyarakat bertahan dan berkembang melalui konsep solidaritas sosial. 

Durkheim membagi solidaritas sosial menjadi dua bagian, yaitu, Pertama, solidaritas mekanik (mechanical solidarity) yang terbentuk karena kesamaan nilai, tradisi, dan keyakinan. 

Kedua, solidaritas organik (organic solidarity) yang lahir dari diferensiasi peran, keahlian, serta saling ketergantungan antarindividu.

Dua konsep ini bukan sekadar teori klasik belaka, tetapi relevan sebaggai “cermin” untuk membaca dinamika kaderisasi pemuda hari ini, terutama dalam konteks kaderisasi pemuda Islam di sebuah organisasi yang diproyeksikan sebagai pemimpin Indonesia tahun 2045.

Solidaritas Mekanik Fondasi Nilai dan Identitas

Dalam organisasi massa Islam, tahap awal kaderisasi pemuda biasanya menekankan keseragaman nilai mulai dari satu akidah, manhaj gerakan, visi perjuangan, dan satu komitmen moral. Di sinilah solidaritas mekanik bekerja. 

Pemuda Islam yang digembleng dalam halaqah, majelis ilmu, atau forum kajian, dituntut untuk memiliki kesamaan prinsip agar tidak “salah kostum” dengan akar kaderisasi dan nilai-nilai di dalam agama islam yang telah disepakati bersama.

Kamiruddin dalam Jurnal Ilmiah Keislaman Al-Fikra Vol. 5 h. 70–81 (2006) bertajuk "Agama dan Solidaritas Sosial: Pandangan Islam Terhadap Pemikiran Sosiologi Emile Durkheim", mengkonfirmasi keadaan itu.

Menurutnya, agama mampu memperkuat solidaritas sosial karena aktivitas keagamaan dilaksanakan secara kolektif, misalnya shalat berjamaah, puasa Ramadan, zakat, hingga ibadah haji. Aktivitas ini bukan hanya ibadah individual, melainkan juga pengikat kebersamaan yang menghadirkan kesadaran kolektif.

Solidaritas Organik sebagai Adaptasi dan Diferensiasi Peran

Namun, Durkheim juga mengingatkan bahwa masyarakat modern tidak bisa hanya hidup dalam keseragaman. Dibutuhkan solidaritas organik, yaitu kemampuan menerima perbedaan, menghargai keahlian, dan bekerja sama dalam peran yang beragam di berbagai bidang.

Dalam konteks kaderisasi di organisasi massa islam, pemuda Islam tidak cukup untuk dibentuk agar kompak dalam ideologi.

Mereka harus siap menjadi ekonom, akademisi, politisi, teknokrat, atau aktivis sosial yang berbeda jalur tetapi tetap terhubung dalam tujuan besar umat dan bangsa, tetapi tetap diikat oleh keseragaman: akidah, manhaj gerakan, visi perjuangan, dan satu komitmen moral.  

Di sini Kamiruddin menegaskan bahwa Islam mampu menghadirkan kedua jenis solidaritas ini secara seimbang yang di satu sisi, iman dan ibadah menghadirkan kesadaran kolektif yang homogen (mekanik), sementara di sisi lain, ajaran Islam juga mengatur sistem sosial yang kompleks dan fungsional sesuai spesialisasi masyarakat modern (organik).

Integrasi Solidaritas: Jalan Menuju 2045

Untuk itu, kaderisasi pemuda Islam oleh organisasi massa islam harusnya mengintegrasikan dua dimensi solidaritas ini. Pertama, solidaritas mekanik, yang akan menjadi pondasi nilai: iman, akhlak, dan komitmen keislaman. 

Kedua, solidaritas organik, sehingga kader dapat beradaptasi: membangun jejaring lintas disiplin, kolaborasi sosial atau lintas elemen kebangsaan dalam konteks Indonesia, dan memiliki kapasitas kepemimpinan yang kompatibel dengan tantangan yang lebih luas (global).

Dalam perspektif Islam, konsep ini memiliki padanan dalam ajaran ukhuwah dan ‘ashabiyah, di mana solidaritas berbasis akidah lebih kokoh dibanding solidaritas berbasis darah atau kepentingan sesaat.

Organisasi massa islam yang mengintegrasikan keduanya di dalam kaderisasi, akan menghasilkan pemuda Islam yang dapat  dapat menjadi pemimpin kuat secara spiritual sekaligus relevan dalam masyarakat modern yang penuh kompleksitas, tentu ini menjadi pekerjaan rumah bersama!

Pemuda Islam dan Harapan Kepemimpinan

Durkheim mungkin tidak pernah membayangkan Indonesia, apalagi target 2045 memimpin Indonesia. Namun gagasannya tentang solidaritas, yang disinkronkan dengan pandangan Islam sebagaimana dibahas Kamiruddin di dalam jurnalnya, memberi inspirasi bagi kita, khusunya organisasi masa islam yang ada untuk membentuk generasi pemuda Islam yang siap memimpin.

Kaderisasi yang hanya menekankan keseragaman nilai tanpa membuka ruang diferensiasi akan menghasilkan generasi kaku. Sebaliknya, kaderisasi yang hanya mengejar keterampilan praktis tanpa pijakan nilai akan melahirkan pemimpin yang oportunis.

Kunci menuju Indonesia Emas 2045 adalah pemuda yang seimbang antara solidaritas mekanik dan organik: kokoh dalam iman dan akhlak, cerdas dalam peran sosial, serta matang dalam kepemimpinan.

REFRA ELTHANUMBARY | CEO Nestref.com

0 Komentar

Type above and press Enter to search.