Fungsi Akal yang “Dilupakan” Manusia
Sering kali kita mendengar — bahkan mungkin turut
mengucapkannya sendiri — ketika seseorang bertanya, “Apa yang membedakan
manusia dengan hewan?”
Jawaban yang spontan muncul hampir selalu sama: akal.
Jawaban ini begitu umum, namun jarang kita pahami secara mendalam.
Mengapa demikian? Karena sebenarnya, tanpa akal, kita sulit
membedakan diri dari hewan. Secara fisik, manusia dan hewan sama-sama memiliki
organ tubuh yang berfungsi serupa.
Hewan menggunakan alat reproduksinya untuk berkembang biak;
manusia pun demikian. Hewan mencari makan untuk bertahan hidup; manusia juga
melakukan hal serupa, hanya dengan cara yang lebih kompleks: membangun sistem,
struktur sosial, dan peradaban.
Namun di sinilah letak keistimewaan manusia. Allah SWT menganugerahkan akal sebagai pembeda, yang menjadikannya makhluk paling
sempurna di antara ciptaan-Nya. Dengan akal, manusia bukan sekadar “ada”,
tetapi diberi tanggung jawab dan potensi untuk menjadi tolok ukur keagungan
Sang Pencipta.
Sayangnya, justru di titik inilah sering kali terjadi
kelupaan. Keunggulan yang seharusnya menjadi kemuliaan berubah menjadi sebab
kelalaian. Akal yang dimuliakan Allah, perlahan kehilangan fungsinya, karena
manusia tak lagi menempatkannya pada jalan yang benar.
Bukti Kesempurnaan Akal
Ketika Allah SWT menurunkan wahyu pertama kepada Nabi
Muhammad s.a.w “Iqra’” (Bacalah!), sejatinya Allah sedang mengajarkan
cara agar manusia mampu menjaga kesempurnaan akalnya.
Perintah membaca bukan sekadar aktivitas intelektual,
melainkan stimulus Ilahi agar akal manusia bekerja secara utuh.
Dalam proses membaca, manusia diajak untuk meneliti,
menelaah, dan merenungkan.
Membaca bukan hanya soal huruf dan kata, tetapi juga tentang
tanda-tanda (ayat) — baik yang tertulis dalam kitab suci maupun yang
terhampar di alam semesta.
Dengan membaca, manusia mengaktifkan seluruh indera dan
rasa; dari sanalah lahir keluasan pandangan dan kedalaman berpikir.
Namun, sebagai makhluk simbolik (homo symbolicus),
manusia kerap tergelincir: lebih sibuk memaknai simbol daripada menghayati
makna sejatinya.
Kita sadar bahwa tidak semua jalan hidup memiliki tanda yang
jelas, dan justru di situlah akal seharusnya berperan untuk mencari arah.
Karena itu, Allah Swt menurunkan firman-firman-Nya melalui
para nabi dan rasul — sebagai pedoman agar akal manusia tetap berjalan di
jalan yang lurus.
Wahyu adalah cahaya yang menjaga akal dari kesesatan logika,
dari kesombongan berpikir tanpa bimbingan Ilahi.
Maka, salah satu bukti nyata kesempurnaan akal manusia
sebagai hamba adalah ketika ia patuh terhadap pedoman Allah, yaitu
Al-Qur’an.
Dengan menjadikan wahyu sebagai penuntun berpikir dan
bertindak, akal manusia akan berjalan di jalur yang benar — jalur kesempurnaan
yang diridai-Nya. Wallāhu a‘lam bish-shawāb.
0 Komentar