Jurus Konsisten Menulis ala Mas Imam Nawawi
Ada satu
hal yang selalu terasa ketika saya membaca tulisan-tulisan Mas Imam Nawawi (masimamnawawi.com), ia
tidak sedang “menjelaskan menulis”, tapi sedang hidup di dalamnya.
Setiap kalimat yang ia tulis tampak seperti hasil dari perjalanan panjang,
bukan sekadar dorongan sesaat.
Dari beberapa
artikelnya tentang dunia tulis-menulis, mulai dari Menulis Itu Jangan Takut
Memulai, Menulis Membantu Tertib dalam Berpikir, Menulis Itu Buah
dari Membaca, hingga Mengapa Tekun Menulis? Kita bisa melihat satu
hal yang konsisten, yaitu menulis telah menjadi bagian dari dirinya.
Ia menulis
bukan karena sedang punya waktu, tapi karena menulis adalah cara dia mengisi
waktu. Dalam salah satu tulisannya, ia menegaskan bahwa menulis membantu
menata pikiran. Dari situ saya menangkap bahwa bagi Mas Imam, menulis adalah
alat untuk berpikir, bukan hasil berpikir.
Ia tidak
menunggu inspirasi datang, karena baginya inspirasi justru muncul di tengah
proses menulis itu sendiri. Pola ini terlihat berulang di banyak tulisannya:
ada kesadaran bahwa tulisan tak lahir dari “momen besar”, melainkan dari
rutinitas kecil yang dilakukan terus-menerus.
Yang
menarik, konsistensinya tidak dibangun dari ambisi menjadi penulis besar. Ia
tidak menulis untuk menunjukkan kehebatan, tetapi untuk menjaga keteraturan
pikir dan kejernihan hati. Di situlah letak kekuatannya. Dalam Jangan Takut
Menulis! Ini Alasan Kenapa Menulis Itu Baik untuk Kita, Mas Imam menekankan
bahwa menulis tidak perlu ditakuti.
Tulisan
pertama boleh saja berantakan, tapi dari sanalah proses belajar dimulai. Ia
ingin menegaskan: yang penting bukan seberapa bagus hasilnya, tapi seberapa
berani kita untuk mulai.
Dalam
banyak bagian pada tulisan Mas Imam, ia juga menunjukkan bahwa kebiasaan
menulis yang konsisten tidak mungkin tumbuh tanpa budaya membaca. Ia menulis
dengan kesadaran penuh bahwa setiap gagasan harus diberi asupan, dan asupan
terbaik adalah bacaan.
Dalam
tulisannya Menulis Itu Buah dari Membaca, ia menyebut bahwa menulis dan
membaca saling menumbuhkan. Seseorang yang rajin membaca tidak akan kehabisan
bahan untuk menulis, sementara orang yang rajin menulis akan punya alasan untuk
terus membaca.
Hubungan
timbal balik ini tampak sederhana, tapi justru di situlah salah satu kunci
konsistensinya: ia menjaga bahan bakar intelektualnya tetap menyala.
Mas Imam
sering mengaitkan menulis dengan ibadah dan dakwah. Ia menulis bukan hanya
untuk didengar, tapi untuk berbagi hikmah, menebar manfaat, meski kecil.
Barangkali inilah yang membuatnya tidak mudah lelah. Ketika motivasi datang
dari dalam keyakinan bahwa menulis adalah bentuk pengabdian. Maka tidak ada
alasan untuk berhenti. Ia tidak menulis demi tepuk tangan, tapi demi ketenangan
batin.
Dan satu
hal lagi yang membuat saya belajar banyak dari Mas Imam Nawawi, kesabarannya!
Dalam setiap tulisannya, tersirat pemahaman bahwa hasil dari menulis tidak bisa
instan. Ia seperti petani yang sabar menanam, menyiram, dan percaya bahwa suatu
hari nanti pohon itu akan berbuah.
Ia tahu
tidak semua tulisan akan viral, tidak semua orang akan membaca, tapi setiap
tulisan adalah bagian dari perjalanan panjang. Sebab menulis, dalam
pandangannya, bukan tentang siapa yang membaca, melainkan tentang siapa yang
terus bertumbuh.
Membaca
tulisan-tulisan Mas Imam membuat saya sadar bahwa konsistensi tidak selalu
tampak dari banyaknya karya, tapi dari kesetiaan terhadap proses. Ia tidak
menulis karena sedang ingin, tapi karena ia tahu menulis membuatnya tetap
waras, tetap terhubung dengan pikirannya sendiri. Dari situ saya melihat bahwa
menulis bukan sekadar aktivitas, tapi cara menjaga kesadaran.
Mas Imam
Nawawi menunjukkan bahwa kunci konsistensi bukan pada teknik, tapi pada cara
pandang. Menulis bukan beban, tapi kebutuhan. Bukan sekadar karya, tapi jalan
untuk menemukan makna. Dan barangkali di situlah letak “jurus”-nya yang paling
penting: ia tidak berusaha menjadi penulis yang produktif, tapi menjadi manusia
yang terus belajar lewat tulisan.
Karena
pada akhirnya, menulis tidak hanya soal menghasilkan teks, tapi soal menjadi.
Dan dari tulisan-tulisannya, kita bisa tahu: Mas Imam Nawawi sudah lama
menempuh jalan itu dengan tenang, pelan, tapi pasti.
Tetap
muda! Tetap menginspirasi, Mas Imam Nawawi!
0 Komentar