Rendah Hati dan Bersyukur: Belajar dari Keterbatasan Pikiran Manusia

 

Maghrib menjelang Isya’, seorang senior mengirimkan pesan berisi link tulisan di laman websitenya. Yang membuat saya terkejut bukan hanya tautannya, melainkan kalimat berikut:

“Antum (kamu) boleh kasih saran dan masukan, agar saya lebih baik ke depan.”

Sontak saya terkejut. Bagaimana mungkin saya diminta memberi nasihat pada orang yang seharusnya menjadi pemberi nasihat? Bagaimana saya bisa “menggarami lautan”? Rasanya tidak pantas.

Namun, saya mulai berpikir dan menyadari suatu hal: sejatinya, sifat alamiah manusia selalu ingin dinasihati, bahkan oleh orang yang lebih bijak. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW, meski menerima wahyu dari Allah, beliau tetap mendengarkan pendapat para sahabat dalam urusan duniawi, terutama yang berkaitan dengan strategi, organisasi, dan kepemimpinan.

Contohnya, saat Perang Uhud, Nabi SAW menanyakan pendapat para sahabat tentang apakah hendak bertahan di Madinah atau menghadapi musuh di luar kota. Sahabat memberikan masukan, dan keputusan akhirnya diambil melalui pertimbangan bersama. Contoh lain adalah Perjanjian Hudaibiyah, di mana Nabi SAW menerima masukan dari sahabat seperti Ali RA dan Abu Bakr RA dalam membahas strategi perjanjian damai.

Sadar atau tidak, selalu ada ruang kosong dalam diri kita untuk menerima nasihat pada posisi dan kondisi tertentu. Hal ini sejalan dengan yang dijelaskan Kahneman (2011) dalam Thinking, Fast and Slow:

“Otak manusia memiliki keterbatasan dalam memproses informasi dan menilai konsekuensi jangka panjang. Nasihat berfungsi sebagai informasi eksternal yang membantu pengambilan keputusan lebih tepat.”

Kahneman menyebut kondisi ini sebagai keterbatasan kognitif (cognitive limitations). Sebenarnya, konsep ini bukan hal baru dalam tradisi keilmuan Islam. Allah SWT telah menegaskan keterbatasan manusia dalam Al-Qur’an:

“Dan mereka menanyakan kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (QS. Al-Isra’ [17]:85)

Ayat ini menegaskan bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas, terutama mengenai hal-hal ghaib dan rahasia Allah. Manusia bisa berpikir, menganalisis, dan menalar, tetapi tidak selalu bisa memahami hikmah Allah sepenuhnya. Dengan kata lain, pikiran manusia memiliki keterbatasan dalam menilai yang baik atau buruk secara sempurna.

Patut Bersyukur!

Menyadari keterbatasan pikiran kita seharusnya menumbuhkan rasa syukur yang mendalam. Meski akal kita tidak mampu mengetahui segala sesuatu, Allah telah menganugerahkan kemampuan untuk berpikir, belajar, dan menerima nasihat. Keterbatasan ini mengajarkan kita:

  1. Rendah hati – menyadari bahwa manusia selalu membutuhkan bimbingan dan nasihat.
  2. Terus menimba ilmu – ruang kosong di hati kita mendorong kita untuk belajar dan berkembang.
  3. Bersandar pada Allah – keputusan hidup tidak hanya dipandu akal semata, tetapi juga bimbingan-Nya.

Dengan demikian, setiap langkah dan pilihan hidup menjadi lebih bijak, sadar, dan selaras dengan tujuan hidup yang hakiki.

Sebagaimana pesan penutup senior saya yang bijak itu: 

“Semua kebaikan sumbernya dari Allah. Mari kita ucapkan Alhamdulillah.”

Bersyukur atas keterbatasan pikiran kita, bersyukur karena hati kita masih bisa meminta nasihat dan dinasihati. Dengan begitu, kita selalu merasa rendah diri, tidak jumawa, selalu merasa kosong, dan terus bisa diisi dengan kebaikan. Semoga Allah selalu meluruskan dan membersihkan hati-hati kita.

*)Refra Elthanimbary, pendiri nestref.com

0 Komentar

Type above and press Enter to search.