Syura sebagai Madrasah Pendidikan Karakter bagi Pemuda

 

Bahasan dalam catatan sederhana ini berangkat dari tulisan Mas Imam Nawawi dengan judul Urgensi Syura: Pilar Utama Mendorong Umat Kembali Hebat di laman webistenya www.masimamanawawi.com, ada beberapa penggal kalimat yang menarik bagi saya untuk dibahas, diantaranya; “...Musyawarah bukan sekadar formalitas dalam Islam, melainkan sebuah keniscayaan dan instrumen paling utama dalam setiap aspek kepemimpinan...” dan “...musyawarah punya adab yang harus jadi perhatian serius.” Lebih jauh lagi, bagi saya musyawarah harusnya menjadi madrasah, tempat dibentuknya karakter generasi muda di sebuah organisasi islam.

Karena tidak asing rasanya kita dengar di kamus organisasi kata itu, tapi apakah maknanya benar-benar kita pahami? Dalam tradisi Islam, musyawarah bukan sekadar formalitas administratif atau suatu forum untuk mengganti pemimpin organisasi dan menghasilkan kebijakan staretegis setiap beberapa tahun. Lebih dari itu,  ia adalah instrumen utama dalam setiap aspek kepemimpinan, sekaligus ruang pendidikan karakter bagi umat secara umum, khususnya kepada pemuda.

Syura di dalam islam mengajarkan kepada siapa saja bahwa proses pengambilan keputusan harus diwarnai dengan adab: mendengar dengan seksama (tanpa memandang senioritas dan jabatan organisasi), berbicara dengan bijak, menimbang dengan jernih, dan menerima keputusan dengan lapang dada.

Tanpa adab, musyawarah hanya menjadi rutinitas kosong bagi sebuah organisasi islam, kehilangan roh, dan jauh dari tujuan pendidikan karakter apatah lagi menyiapkan pemimpin yang berkarakter di masa yang akan datang.

Adab Bermusyawarah: Pilar Pendidikan Karakter

Namun begitu, adab dalam musyawarah bukan sekadar sopan santun dari yang muda kepada yang tua, atau junior pada senior. Ia adalah ajang adu ide, gagasan, serta wacana untuk menghasilkan kemaslahatan bagi umat yang tidak datang dari satu kepala saja. Ia adalah landasan pembentukan atau transmisi karakter bagi kader agar matang: sabar, rendah hati, mampu menahan diri, serta menghargai perbedaan antara junior kepada senior, pun sebaliknya.

Untuk itu, seseorang yang belajar di dalam madrasah syura: sejatinya ia telah belajar  untuk mendengarkan tanpa menyela, menimbang pendapat orang lain, atau menerima keputusan yang bukan kehendaknya, ia sedang membentuk karakter yang siap menjadi pemimpin, memimpin dan siap untuk dipimpin dengan jiwa kepemimpinan yang adil, pikiran yang terbuka, dan hati yang ikhlas.

Di sinilah syura menjadi madrasah karakter yang sesungguhnya bagi umat, terutama bagi kader muda yang sedang ditempa untuk melanjutkan estafeta kepemimpinan islam, lebih jauh lagi madrasah ini harus benar-benar steril dari intervensi atau ego sektoral seseorang, tidak pandang bulu. Sehingga menjadi wadah yang benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya.

Dalam konteks kaderisasi organisasi Islam, syura sejatinya adalah laboratorium etika kepemimpinan (akhlaq al-qiyadah) bagi generasi penerus organisasi tersebut. Kader muda-nya dibimbing untuk belajar bahwa memimpin bukan soal jabatan, tetapi soal bagaimana mengelola aspirasi banyak orang, membimbing orang lain, dan mengambil keputusan yang maslahatnya lebih luas daripada kepentingan pribadi atau orang-orang terdekatnya.

Ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ustadz Hamim Tohari, Ketua Dewan Pertimbangan Hidayatullah, dalam sebuah Majelis Reboan (8/10/25) sebagaimana yang dikutip dalam tulisan Mas Imam Nawawi tersebut, bahwa: “Munas (Musyawarah Nasional) bukan hanya ajang evaluasi, tetapi juga sarana penting untuk pemantapan rencana strategis ke depan, termasuk dalam proses transformasi dan transmisi kepemimpinan dari senior ke junior—sebuah masa rejuvenasi atau peremajaan organisasi.”

Musyawarah yang dijalankan oleh sebuah organisasi islam, partai islam, atau lembaga apapun yang berasaskan islam, sejatinya harus menjadi “madrasah” yang mengajarkan calon pemimpin (baca: pemuda) untuk terbiasa mendengar dan menyanggah masukan tanpa memandang siapa yang menyampaikannya, berpikir jernih sebelum bersikap atau mengambil keputusan penting dan genting bagi kemaslahatan yang lebih besar, serta menjaga integritas dirinya untuk berlaku adil dalam memimpin.

Proses ini tidak bisa digantikan dengan pelatihan singkat di lembaga perkaderan atau seminar dan training kepemimpinan. Ia hanya lahir melalui praktik nyata dalam forum musyawarah yang hidup antara senior dan junior, yang tua dan yang muda, tentu dengan mengedepankan adab-adab dalam bermusyawarah, dimana yang muda diberi kesempatan mengedepankan ide, gagasan dan wacana, dan yang tua mendengar dengan seksama tanpa mengecilkan-nya.

Hilangnya Adab dalam Debat Publik Modern sebagai Pengingat

Budaya debat publik di bangsa ini kehilangan roh syura, di berbagai program televisi nasional hanya menontonkan debat kusir dalam satu tema tertentu kepada generasi muda.

Perdebatan di media sosial atau bahkan ruang publik kerap berubah menjadi ajang adu ego, saling menghina, atau membenarkan diri sendiri. Argumentasi yang seharusnya membangun malah memecah belah sesama, ini budaya yang tidak sehat bagi generasi muda.

Sebagai generasi muda, kita bisa melihat bahwa banyak orang berbicara, tapi sedikit yang benar-benar mendengar. Banyak yang berdebat, tapi sedikit yang menimbang dengan hikmah.

Fenomena ini menjadi pengingat betapa pentingnya “madrasah musyawarah” ada di sebuah organisasi islam, juga agar publik, pemuda atau kader sebuah organisasi dapat membangun kultur dialog yang sehat, dewasa, dan produktif di masa depan, jangan sampai syura’ hanya jadi “kosa kata” dalam sebuah organisasi islam, tanpa menjadikannya sebagai “wadah” untuk menyiapkan kader-kader pemuda islam untuk dapat membangun kultur dialog yang sehat, dewasa, dan produktif di masa depan.

Syura sebagai Jalan Mendidik Pemuda

Jika syura atau forum-forum musyawarah di sebuah organisasi islam dijalankan dengan semestinya, tanpa ada diskriminasi usia dan senioritas, pemuda punya hak bicara dan didengar serta mempunyai hak yang sama untuk menghasilkan sebuah keputusan strategis, niscaya sebuah organisasi atau bahkan lebih jauh lagi sebuah bangsa tidak hanya mendidik, tetapi telah berinvestasi menyiapkan pemimpin di masa depan, serta menghasilkan individu yang belajar menghargai pendapat orang lain, bersikap bijak, dan mengutamakan maslahat bersama.

Bayangkan sebuah bangsa di mana semua debat politik, diskusi organisasi, atau pertemuan komunitas dijalankan dengan prinsip ini. Perbedaan bukan lagi ancaman, melainkan sumber inspirasi. Konflik diselesaikan dengan hikmah, bukan emosi. Dan keputusan yang dihasilkan memiliki legitimasi moral sekaligus sosial yang kuat.

Musyawarah adalah pendidikan karakter yang paling nyata: ia membentuk hati yang sabar, akal yang jernih, dan jiwa yang ikhlas. Dari sinilah lahir pemimpin masa depan yang tidak hanya cakap secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia, mampu memimpin dengan hati, dan membimbing umat dengan bijak.

Mas Imam Nawawi menyampaikan: “....Tanpa itu, musyawarah akan berjalan namun rohnya bukan lagi untuk kemajuan dakwah dan tarbiyah, tapi legitimasi kepentingan yang sangat destruktif.”

Semoga Munas VI Hidayatullah menjadi madrasah bagi kader muda. Memberi warna baru dan inspirasi bagi perjalanan organisasi ini dalam menyiapkan generasi muda yang berdampak bagi kemajuan umat, bangsa dan negara ini.

*) Refra Eltanimbary/Pemuda Hidayatullah/nestref.com

0 Komentar

Type above and press Enter to search.