Taqarrub Kepada Allah adalah Jalan Menuju Puncak Spiritual dan Moral

 

Catatan dari Tausiyah KH. Abdurrahman Muhammad (Pemimpin Umum Hidayatullah)
Gedung Serbaguna Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, 21 Oktober 2025, dalam helatan MUNAS 6 Hidayatullah

Pagi ini saya duduk mendengar tausiyah dari KH. Abdurrahman Muhammad. Ada yang langsung terasa menetap di kepala saya, yaitu kalimat beliau: “Puncak spiritual seorang hamba adalah ketika ia berlomba mendekat kepada Allah.”

Beliau menyampaikan, Nabi SAW menggambarkan orang yang bertaqarrub seperti menatap cakrawala luas, tak terjangkau, tapi mempesona. Di sana terlihat keindahan nama-nama Allah. Itulah perjalanan kita. Taqarrub bukan sekadar mendekat; ia adalah perlombaan menuju puncak moral dan spiritual bagi setiap pemimpin.

Beliau mengutip ayat: “Ya ayyuhalladzina amanu, wabtaghu ilaihil wasilah.” Carilah jalan untuk mendekat kepada-Nya. Apapun yang kita lakukan, tujuannya selalu sama: mencapai kedua puncak itu.

Kalau manusia sudah tidak mengenal Tuhannya, kata beliau, ia berada di puncak kegelapan. Di sinilah dibutuhkan pemimpin yang juga pencerah, seperti Nabi SAW, pemimpin yang memberi cahaya di tengah kegelapan.

Perjalanan menuju Allah SWT adalah sesuatu yang niscaya. Tidak bisa dihindari, tapi harus diupayakan. Beliau menyebut: “Wa tabattal ilaihi tabatila.” Bertabattul atau menyerahkan diri sepenuhnya, menyingkirkan segala yang bukan Allah.

Lalu beliau mengingatkan wahyu pertama di surah Al-‘Alaq, Iqra’. Ketika Nabi berkata, “Aku tidak bisa membaca,” itu bukan karena tidak tahu membaca. Itu jawaban filosofis. Iqra’ datang bukan untuk menumpuk ilmu, tetapi untuk perubahan, dari perbudakan menuju kemerdekaan, dan dari kegelapan menuju cahaya.

Kepemimpinan, kata beliau, bukan prestise, bukan kehormatan semata, tetapi ibadah-amanah kenabian dan kerasulan. Sabar dan yakin adalah syarat mutlak bagi seorang pemimpin, karena pasti akan ada penolakan dari perjalanan sebagai seorang pemimpin, bahkan dari orang terdekat.

Pemimpin tidak boleh merasa superior, sementara orang lain dianggapnya inferior. Pemimpin yang menutup diri dari musyawarah akan menghancurkan dirinya, keluarganya, dan lembaganya. Mengutip Ibnu Taimiyah, beliau mengatakan, kepemimpinan tetap harus ada, sekalipun pemimpinnya tidak sempurna. Tanpa pemimpin, umat akan kehilangan arah.

Beliau menutup dengan kalimat yang sangat mengena:
“Kalau ada kader yang tidak salat lail, itu cacat spiritual, sebagaimana yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Mannan. Sedangkan saya katakan; Kalau ada kader yang tidak mau musyawarah, itu cacat moral(nya).”

Dan tiga hal yang beliau pesankan diakhir tausiyah untuk haqqah tilawah, haqqah jihadi, haqqah taqwa: membaca dengan sebenar-benarnya, berjuang dengan sepenuhnya, bertakwa dengan seutuhnya.

*) Refra Elthanimbary, nestref.com

0 Komentar

Type above and press Enter to search.