Dialog Imaginer: Kualitas Manusia dan Pilihan Hidup
“Kualitas ciptaan Tuhan yang bernama manusia itu memang tidak semuanya sama. Ada yang menjadi Abu Lahab, ada yang menjadi Abu Jahal, ada pula yang menjadi Abu Bakar, Utsman, Umar, dan Ali.”
Sebenarnya, tidak ada yang membosankan dari setiap garis takdir. Jika kita perhatikan sungguh-sungguh, setiap kejadian di depan mata selalu menyimpan percakapan-percakapan imaginer dalam kepala kita.
Pada satu titik, kepala terasa penat oleh kagum: betapa hebat dan canggihnya Allah SWT menciptakan “bongkahan” otak dengan milyaran sel dan fungsinya. Bayangkan, kita bisa berimajinasi tentang apa saja, kapan saja, di mana saja—tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser pun. Luar biasa, bukan?
Begitu detail dan sempurnanya ciptaan Allah, hingga mustahil bagi makhluk untuk menirunya. Namun, tetap saja ada manusia yang belum “tersentuh” oleh kebenaran Ilahiyah. Tapi semua itu tentu kembali kepada hidayah dari-Nya.
Kesadaran Ilahiyah memang tidak diberikan kepada semua orang. Saya membayangkannya seperti fase dakwah Nabi Muhammad SAW. Orang-orang di sekitar beliau yang menerima dan menolak dakwah menggambarkan betapa beragamnya respon manusia terhadap kebenaran Ilahiyah. Fenomena itu terus berulang dari zaman ke zaman, di berbagai belahan dunia. Pada akhirnya, semuanya adalah pilihan hidup.
Membaca: Jalan Menuju Kebenaran
Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menyinggung soal membaca. Salah satunya adalah ayat pertama yang diturunkan, yakni Surah Al-‘Alaq ayat 1–5:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq [96]: 1–5)
Ayat ini menegaskan betapa pentingnya membaca—bukan hanya sekadar aktivitas menambah pengetahuan, tetapi juga sarana untuk menemukan kebenaran Ilahiyah.
Perintah pertama yang diterima Nabi Muhammad ï·º adalah “Bacalah!” Ini menunjukkan bahwa membaca adalah pintu menuju ilmu dan jalan untuk mengenal Tuhan dengan lebih dalam. Dengan membaca, kita bisa membuka tabir kebodohan dan menapaki jalan kebenaran.
Mau Jadi Manusia Seperti Apa?
Pernahkah kita berpikir, mau jadi manusia seperti apa?
Apakah ingin seperti Abu Jahal dan Abu Lahab yang menolak kebenaran, atau seperti Abu Bakar, Utsman, Umar, dan Ali yang teguh di jalan Allah?
Abu Jahal dan Abu Lahab menolak dakwah Nabi dengan keras kepala, sementara Abu Bakar dikenal sebagai As-Siddiq—orang yang selalu membenarkan kebenaran Rasulullah.
Utsman terkenal dengan kemurahan hatinya, Umar dengan ketegasannya menegakkan keadilan, dan Ali dengan keberaniannya melawan kebatilan.
Pertanyaannya, kita ingin menjadi yang mana?
Apakah manusia yang terus ragu dan bimbang, atau pribadi yang yakin dan teguh terhadap kebenaran Ilahiyah?
Peran Pemuda dalam Menemukan Kebenaran
Sebagai pemuda, kita memiliki banyak pilihan hidup. Namun, hanya dengan memilih jalan yang benar kita akan sampai pada keteguhan hati.
Keteguhan itu dibangun melalui kegiatan yang menumbuhkan iman dan ilmu: memperbanyak ibadah, menuntut ilmu, menjaga diri dari hal-hal yang menggoyahkan keyakinan, serta meneladani sosok-sosok teladan seperti Abu Bakar dan Umar.
Kebimbangan itu wajar, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita menghadapinya.
Sejarah para sahabat mengajarkan bahwa keteguhan tidak lahir dari situasi yang nyaman, melainkan dari ujian yang dihadapi dengan iman dan kesabaran.
Hidup Tanpa Tuhan, Tak Bermakna
Coba bayangkan hidup tanpa percaya kepada Tuhan. Rasanya seperti ada yang hilang—kosong, tanpa arah, tanpa makna.
Sebanyak apa pun kesenangan duniawi yang kita miliki, tetap tidak akan mampu mengisi kekosongan spiritual. Allah SWT telah memberi kita bukti atas kebesaran-Nya: dari keajaiban tubuh manusia hingga keteraturan alam semesta.
Bayangkan, kita mampu berimajinasi tanpa biaya apa pun—itu pun bukti betapa luar biasanya ciptaan Allah. Namun, jika kita tidak mempercayai-Nya, semua itu menjadi tidak berarti. Hidup tanpa arah, tanpa tujuan, hanya sekadar ada.
Keyakinan kepada Tuhanlah yang memberi arti pada setiap langkah. Tanpa-Nya, kehidupan hanyalah rutinitas kosong.
Pilihan dan Kesadaran
Di tengah hangatnya sore Kota Batu, dengan secangkir kopi yang mulai dingin dan sisa gorengan yang hampir habis, saya merenung. Tentang semua percakapan imajiner ini berputar dalam kepala: tentang pilihan hidup, tentang arah yang harus diambil, dan tentang arti keyakinan.
Pada akhirnya, setiap manusia akan memilih jalannya sendiri—antara keraguan atau keyakinan.
Dan dalam setiap pilihan itu, hanya satu hal yang pasti: keyakinan kepada Tuhan adalah sumber makna dan ketenangan hidup.
"Tanpa-Nya, semua terasa hampa. Namun bersama-Nya, bahkan kebimbangan pun menjadi bagian dari perjalanan menuju kebenaran".
*)Refra Elthanimbary/nestref.com
0 Komentar