Kesendirian yang Menyembuhkan
Dulu, waktu kita kecil, hidup terasa sederhana. Sekolah, bermain, dan sesekali menangis. Tak ada yang membayangkan bahwa dewasa nanti, hidup akan sekompleks ini.
Realitas menampar. Kadang lembut, sering keras.
Masalah kecil terasa seperti akhir dunia. Padahal, itu cuma babak baru.
Hidup berulang, seperti bianglala: naik, turun, dan kembali lagi.
Kita sering panik sebelum siap. Terlalu ingin berenang di laut dalam—padahal belum punya perahu.
Kadang masalah kita sendiri yang membuat hati riuh.
Seolah dunia ini menunggu kita menyerah.
Itulah kenapa kita butuh menyendiri.
Bukan untuk lari.
Tapi untuk mendengar diri sendiri.
Untuk menata hati.
Untuk sadar, bahwa hidup itu sebentar, dan kita tidak akan selalu ditemani orang lain.
Menahan masalah seperti menahan kentut. Dipendam, bisa sakit.
Keluar, lega. Begitu juga dengan hati.
Dan jangan malu: kita memang manusia. Kotor, lemah, tapi bisa belajar bersih.
Kita lahir sendiri. Nanti kita mati sendiri.
Di antara itu, menyendiri memberi ruang untuk merenung: apa makna hidup ini? Apa fungsi kita di dunia yang sementara ini?
Nabi Muhammad SAW menyendiri di Gua Hira.
Nabi Ibrahim pun demikian, merenung, bersyukur, membersihkan diri dari kebisingan sosial.
Menyendiri bukan untuk menjauh dari dunia, tapi untuk mendekat pada Tuhan.
Jadi, kenapa kita tidak mencoba?
Diam sejenak, tarik napas, dan dengarkan hati.
Dalam sepi itu, mungkin kita menemukan jawaban yang selama ini hilang.
Dan mungkin Allah SWT sedang menunggu kita bicara.*
0 Komentar